Biografi Penulis Kitab Sejarah Hidup Imam Ad-Dāraquthniy bernama Abū Al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdiy bin Mas'ūd bin An-Nu'mān bin Dīnār bin ‘Abdillāh Al-Baghdādiy, seorang ahli qiraat, al-hāfidzh, dan Amīr Al-Mukminīn fī Al-Hadīts. Beliau lahir di bulan Dzulqa'dah tahun 306 H di Baghdad, di sebuah mahallah (distrik/kampung) yang bernama Dār Al-Quthn. Mengenai keluarga beliau, penulis mendapati bahwa ayah beliau adalah ahli hadis dan ahli qiraat, lagi tsiqah. Adz-Dzahabiy berkata mengenai Imam Ad-Dāraquthniy, “Beliau bagaikan lautan ilmu, termasuk kalangan ulama dunia, kepadanya berakhir hapalan dan pengetahuan ‘ilal hadis dan para rijalnya, bersamaan dengan keilmuan beliau dalam qiraat dan jalur-jalurnya, kuatnya pengetahuan fiqh, perbedaan pendapat, sejarah perang Nabi, sejarah manusia, dan lain-lain.” Beliau juga ahli dalam bahasa, nahwu, dan sastra. Imam Ad-Dāraquthniy dalam hal aqidah mengikuti salaf ash-shālih. Hal ini tampak dari karya-karyanya...
Umar ‘Abdul Jabbar, Pengarang Khulashah Nurul Yaqin yang Terlupakan..
📌oleh Al Ustadz Firman Hidayat Marwadi
📌Dirapikan dan dipost kembali oleh Saya
Nampaknya bagi pelajar Islam di Indonesia Khulashah Nurul Yaqin bukanlah sesuatu yang asing. Pasalnya kitab itu bisa dikatakan merupakan kitab wajib pelajaran sirah nabawiyyah di hampir madrasah-madrasah Islam di negeri ini. Di samping isinya yang ringkas, juga mengandung banyak pelajaran penting terkait pendidikan karakter peserta didik. Hingga detik ini, tidak ada kitab lain yang dapat menggeser kedudukan kitab tersebut di madrasah-madrasah Islam di Indonesia. Setidaknya ini membuktikan keikhlasan penulisnya, sebagaimana kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab tersebarnya kitab-kitab karangan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi.
Selain Khulashah Nurul Yaqin dalam bidang sirah nabawiyyah, ada pula kitab fiqih yang reputasinya cukup baik di mata madrasah-madrasah kita. Kitab tersebut bertajuk Ad-Durus Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Kitab yang juga ditulis oleh penulis Khulashah tersebut juga merupakan menu wajib di banyak madrasah-madrasah di Tanah Air hingga dewasa ini. Sehingga tidak heran jika hingga saat ini masih terus dicetak dan mudah diperoleh di toko-toko kitab. Bahkan sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia.
Terlepas dari kemasyhuran dua kitab wajib pelajaran Islam di Tanah Melayu di atas, sayangnya banyak di antara pelajar-pelajar itu yang tidak tahu siapa di balik dua kitab yang mereka hafal setiap harinya. Kenapa gerangan? Karena mungkin tidak ada referensi yang memberikan informasi terkait penulisnya atau tidak ada sama-sekali kepedulian terhadapnya. Sehingga tidak ada usaha tertentu untuk melacak siapa di balik dua kitab di atas.
Penulis sendiri semasa duduk di bangku MTs sudah terusik dengan kesamaran penulis Khulashah. Bahkan bertanya-tanya adakah Khulashah itu ringkasan dari kitab Nurul Yaqin ataukah kitab tersendiri yang kemudian diberi judul Khulashah yang artinya ringkasan karena jumlah halamannya yang ringan dan sajian isinya yang padat, layaknya kitab-kitab ringkas lainnya yang walaupun bukan merupakan ringkasan dari kitab tertentu namun karena ringkasnya diberi judul khulashah atau mukhtashar, seperti Mukhtashar Abu Syuja’ dan lainnya.
Seiring berjalannya waktu, cahaya petunjuk itu mulai menyingsing. Kegemaran penulis menelusuri kitab-kitab versi PDF di jagad internet menyebabkan penulis menjumpai sebuah kitab menarik nun elok bertema rekaman jejak ulama-ulama besar Masjidil Haram abad ke-14 H. Kitab tersebut dengan sangat singkat menarik hati penulis untuk memilikinya dan bahkan mencetaknya untuk kepentingan pribadi. Bahasanya yang halus, ungkapannya yang indah, dan sastranya yang kuat membuat pembaca seakan menyaksikan betul sejarah yang dipaparkan oleh penulisnya. Kitab itu lain tidak bukan adalah Siyar wa Tarajim li Ba’dh ‘Ulamaina fi Al-Qarn Ar-Rabi’ ‘Asyar Al-Hijri karya ‘Umar ‘Abdul Jabbar. Sekali lagi, dengan keterbatasan biaya, penulis tak berfikir banyak untuk mencetaknya di jasa-jasa cetak photocopy terdekat.
‘Umar ‘Abdul Jabbar, sosok ulama penulis penuh jasa yang penuh misterius itu akhirnya terurai juga. Walaupun tidak panjang disinggung sosoknya oleh Ustadz ‘Abdul Qaddus Al-Anshari di bagian sambutan kitab Siyar dan di akhir kitab tersebut, setidaknya mengurangi dahaga yang selama ini ada. Di kemudian hari penulis memperoleh keterangan lebih panjang tentang ulama pendidik tersebut. Sebagai catatan ringkas, kiranya perlu disampaikan pada pertemuan kali ini.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1320 H merupakan tahun kelahiran ‘Umar ‘Abdul Jabbar di Makkah Al-Mukarramah. Tahun ini disepakati oleh sejarawan kecuali Ustadz Khairuddin Az-Zirikli dalam Al-A’lam (V/49) yang menyebutkan tahun 1318 H. Di tanah kelahirannya tersebut jugalah ‘Umar kecil menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa. Sejak masih belia dia terlihat sangat rajin menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di Masjidil Haram. Dari satu majelis ke majelis lain dia belajar pengetahuan Islam dari masing-masing pengisi kajian tersebut yang salah satunya ialah Syaikh Abu ‘Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i, salah seorang ulama besar Masjidil Haram asal Tanara Banten. Kepada gurunya tersebut, ‘Umar sangat hormat dan menaruh bakti yang sangat layak diberikan oleh murid kepada gurunya. Sehingga sering kali setiap kali menyinggung nama Syaikh Nawawi, beliau imbuhkan kata-kata syaikhuna, sebuah sikap yang jauh dari istilah ‘kacang lupa kulitnya’.
Di antara pelajaran-pelajaran yang ‘Umar terima di kajian-kajian Masjidil Haram tersebut ialah tafsir, hadits, dan fiqih. Nampaknya di masa-masa itulah yang dijadikannya sebagai bekal kelak di kemudian hari ketika pemain peran penting dalam meletakkan pondasi-pondasi kurikulum madrasah-madrasah Islam di Yaman, Indonesia, dan tentunya Saudi Arabiya.
Pada tahun 1342 H ‘Umar terlihat berkemas-kemas untuk meninggalkan Makkah, tanah kelahirannya, menuju Shan’a. Di negerinya yang barunya itu ia telah berperan penting dalam meletakkan pondasi pokok pembelajaran di madrasah-madrasah nizham yang ada di sana. Termasuk yang beliau lakukan dalam madrasah-madrasah itu ialah pelajaran fisika dan geografi.
Usaha-usaha cemerlang yang dilancarkan oleh Ustadz ‘Umar itu kemudian terdengar ke seantero negeri Yaman, termasuk pihak pemerintah Mukalla, salah satu kota Yaman yang terkenal. Dari sanalah kemudian raja Mukalla menulis sepucuk surat untuk ‘Umar yang intinya adalah agar beliau berkenan pindah ke Mukalla untuk melakukan apa yang beliau lakukan di Shan’a. Permintaan tersebut kemudian disambut baik oleh ‘Umar. Ia pun bergegas ke Mukalla setelah sebelumnya melewati negeri ‘Aden. Selama 3 tahun keberadaannya di Mukalla, ‘Umar telah banyak memberikan warna perubahan pada pendidikan negeri tersebut. Selain merakit corak pendidikan dan pondasi manhaj pembelajaran, ia juga telah berhasil merintis sejumlah madrasah di berbagai wilayah, sesuatu yang menyebabkan pergerakan pendidikan di sana semakin hidup dan mengalami perubahan positif yang sangat pesat. Pihak pemerintah pun semakin tertarik dengan kerja keras ‘Umar ‘Abdul Jabbar dan menginginkannya agar tetap di negerinya agar semakin makmur dengan pendidikan Islam.
Akan tetapi ketika ‘Umar dalam puncak-puncak kejayaan dalam membenahi pendidikan yang ada di Mukalla, tiba-tiba datang sepucuk surat dari negeri nun jauh Indonesia untuk Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar. Pengirim surat tersebut menjelaskan bahwa di Indosesia tengah menghadapi gerakan kristenisasi yang cukup hebat sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kaum muslimin yang lemah iman dan buruk pengetahuannya terhadap agama Islam itu sendiri. Tentu saja gerakan kristenisasi di Indonesia mengalami kemajuan ditandai dengan datangnya penjajah-penjajah Belanda. Walaupun secara lahiriah mereka hanya menginginkan rempah-rempah dan emas, namun di balik itu semua ada misi dan proyek yang lebih besar, yaitu mengkristenkan Nusantara yang sebelumnya dipenuhi oleh kaum muslimin dari Sabang hingga Merauke. Bukankah banyak sekali daerah-daerah di Indonesia yang namanya justru serapan dari Bahasa Arab? Ada Danau Toba terambil dari kata Thayibah, ada Maluku yang terambil dari kata Muluk, ada pula Irian Jaya yang terambil dari kata ‘Uryan. Namun kenyataannya sekarang daerah-daerah tersebut dan lainnya lebih didominasi oleh kaum-kaum salib yang sesat itu.
Usaha-usaha kristenisasi inilah yang mengusik kaum muslimin dan ulamanya sejak sedia kala. Karena lambat laun usaha pemurtadan itu semakin menjadi-jadi, muncullah usulan agar mendatangkan ulama dan tokoh agama yang memiliki pemikiran yang cemerlang demi membendung kristenisasi dan mencerdaskan umat Islam. ‘Umar ‘Abdul Jabbar adalah salah satu sosok yang tepat yang memenuhi kriteria tersebut.
Atas dasar rahmatnya yang begitu tinggi terhadap kaum muslimin dan perhatiannya yang istimewa, apalagi negeri asal gurunya yang sangat ia muliakan, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, ‘Umar pun menyambut baik permintaan dan undangan saudara-saudaranya di tanah Melayu itu. Selain untuk misi mulia di atas, juga sebagai bentuk baktinya kepada sang guru yang telah mengajari dan mendidiknya di serambi Masjidil Haram di kala mudanya.
Keinginannya untuk turut berperan di tanah Melayu itu pun ia sampaikan dengan sangat hati-hati kepada raja Mukalla. Ia faham betul betapa tuan raja tidak segan-segan akan menghalang-halanginya karena sayangnya kepadanya yang begitu tinggi. Bagaimana tidak, pendidikan negerinya sudah mulai membaik dan maju pesat berkat usahanya setelah pertolongan dan karunia Allah Ta’ala. Rasanya sangat berat untuk melepasnya begitu saja. Dan benarlah dugaannya tersebut. Sang raja tidak begitu saja mengizinkannya meninggalkan negerinya. Namun apa boleh buat, raja Mukalla tidak bisa memaksakan kehendaknya. Raja yang bijaksana tidak hanya akan memikirkan kemakmuran negerinya sendiri dengan egonya, namun juga harus menaruh empati kepada saudara-saudara lainnya yang tinggal di seberang nun jauh di mata. Karena itu digelarlah acara perpisahan dengan dihadiri oleh petinggi-petinggi negara dan masyarakat Mukalla. Bahkan raja sendiri bertindak sebagai pelepas tokoh ulamanya tersebut.
Seketika ‘Umar ‘Abdul Jabbar di atas kapal menuju kepulauan Nusantara melalui ‘Aden, pikirannya sudah dipenuhinya dengan peta-peta rencananya yang akan segera ia wujudkan setibanya di tanah Melayu itu. Misi utamanya ialah membentengi umat Islam dari para misionaris dan pemikiran-pemikaran menyusup lainnya dalam umat Islam, semacam syirik, bid’ah, khurafat, dan kawan-kawannya yang memang menjamur di negeri ini. cita-cita itu akan terwujud dengan sukses dengan menggalakkan pendidikan, disemarakkan kajian-kajian Islam, khutbah-khutbah yang berbobot. Oleh karena berdakwah memerlukan ilmu yang cukup dan cakrawala pengetahuan yang baik, terutama untuk menghadapi kaum misionaris harus berbekalkan ilmu kristologi, ‘Umar ‘Abdul Jabbar sudah mempersiapkan itu semua. Bahkan demi mencerdaskan umat Islam di Indonesia dan meningkatkan mutu keilmuan kaum pelajar, ia sampai membawa seluruh perbendaharaan perpustakaan pribadinya ke Indonesia yang dikemudian hari ia wakafkan seluruhnya untuk kaum muslimin di negeri Melayu itu. Dari sini terlihat jelas betapa perjuangan Syaikh ‘Umar bukan sesuatu yang ringan, namun penuh keikhlasan dan rahmat kasih sayang sepenuhnya.
Pada tahun 1346 H adalah tahun di mana ‘Umar sampai di tanah Nusantara. Tak ayal, acara penyambutan digelar sedemikian rupa. Nampak di sana khalayak ramai menyambutnya, terutama orang-orang ‘Arab, baik yang terlahir di Timur Tengah ataupun yang sudah bercampur dengan darah Melayu, berbondong-bondong menyambut kedatangannya. Tak tertinggal, umat Islam lokal turut serta dalam penyambutan itu. Tidak peduli apakah rakyat biasa, ulama, ataupun orang-orang berkedudukan penting lainnya.
Seketika ia menginjakkan kakinya di tanah Melayu, ia melihat bahwa saudara-saudara di negeri ini sangat membutuhkan dan berhajat kepada mushaf Al-Quran, Juz ‘Amma, dan buku-buku bacaan Bahasa ‘Arab untuk menunjang pembelajaran Bahasa Al-Quran tersebut. Meskipun ia sendiri telah membawa ribuan eksemplar mushaf Al-Quran, akan tetapi itu semua belum lagi menutupi kebutuhan kaum muslimin di sini. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengirim surat kepada handai taulannya yang tengah berada di Mesir ketika itu disertai kiriman uang yang cukup besar nominalnya agar kiranya dapat dibelikan ribuan eksemplar mushaf Al-Quran, Juz ‘Amma, dan buku-buku bacaan Bahasa Arab. Kawannya tersebut yang juga seorang ulama besar berdarah Minangkabau, yaitu Syaikh ‘Abdul Hamid bin Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif Al-Khatib Al-Makki, tidak saja menunaikan amanah sahabat karibnya itu namun juga menambah delapan ribuan lebih eksemplar mushaf Al-Quran untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum muslimin di negeri ayahnya tercinta.
Dalam pendistribusian mushaf Al-Quran, Juz ‘Amma, dan buku bacaan Bahasa Arab yang jumlah ribuan itu, Syaikh ‘Umar bertindak langsung sebagai pelaksananya. Dia sengaja tidak menunjuk orang lain untuk melakukan itu walaupun harus turun ke kampung-kampung yang mungkin jaraknya berjauhan dan ke pelosok daerah yang tentu membutuhkan energi yang ekstra. Kecintaannya melihat dan bersua dengan kaum muslimin menuntutnya melakukan itu semua. Ini juga sebenarnya sebagai strategi berdakwah agar semakin diterima dan disambut dengan hangat, yaitu dengan cara memberi sehingga orang lain merasa berhutang budi lalu kemudian menyampaikan pesan-pesan dakwah yang diinginkan. Cara dakwah model ini pun pernah dipraktikkan oleh baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Demi meningkatkan mutu pendidikan anak-anak kaum muslimin di tanah Nusantara, ‘Umar ‘Abdul Jabbar telah berhasil mendirkan ratusan madrasah yang menitikberatkan unggulannya pada dua pokok, yaitu tahfizh Al-Quran dan pengajaran Bahasa ‘Arab sebagai bahasa syariat Islam. Tidak hanya itu, pengalamannya yang ia peroleh sewaktu mengabdikan diri di beberapa negeri Yaman, membuatnya semakin pandai mengatur strategi pendidikan formal. Salah satunya dalam masalah buku-buku wajib siswa atau kurikulum pendidikan. Dalam hal ini ia melihat bahwa selama ini madrasah-madrasah Islam di kepulauan Nusantara masih menggunakan kitab-kitab pelajaran yang sulit dimengerti oleh peserta didik dalam jangka waktu pendek. Walaupun memang tetap bisa dimengerti dan dituntaskan, namun memerlukan masa yang cukup lama. Hal ini tidak lain karena memang buku-buku tersebut ditulis ratusan tahun silam. Sehingga sering kasus tidak sesuai dengan kondisi masa kekinian. Oleh karena itu, Syaikh ‘Umar mencurahkan seluruh pikiran, waktu, dan tenaganya untuk mewujudkan kitab-kitab pelajaran yang sesuai dengan masa dan cocok untuk pelajar-pelajar non ‘Arab. Dari sinilah kemudian terlahir dari tangannya kitab Khulashah Nurul Yaqin dan Ad-Durus Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i yang telah disinggung di muka.
Secara ringkas kitab Khulashah Nurul Yaqin merupakan teks pelajaran yang terdiri dari 3 juz. Asal mulanya dari kitab Nur Al-Yaqin fi Sirah Sayyid Al-Mursalin karya Syaikh Muhammad Al-Khudhari Bek, seorang ulama Mesir. Kitab itu kemudian dipangkas dan diringkas menjadi 2 juz tipis beserta ringkasan tiap-tiap topik pelajaran beserta latihan soal untuk mudzakarah para siswa. Sedangkan juz ketiga dari Khulashah itu sebetulnya ringkasan dari kitab lain karya Syaikh Muhammad Al-Khudhari Bek, yaitu Itmam Al-Wafa’ fi Sirah Al-Khulafa’ yang berisi tentang biografi perjuangan 4 Khulafa’ Rasyidin, Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan ‘Ali. Namun entah kenapa judulnya tetap Khulashah Nurul Yaqin, padahal lebih tepat apabila diberi judul Khulashah Itmamul Wafa’.
Adapun Ad-Durus Al-Fiqhiyyah, sebagaimana jelas melalui judulnya, merupakan kitab fiqih madzhab Imam Asy-Syafi’i. Buku ini terdiri dari 4 juz dengan penyusunan yang berbeda. Juz satu dan dua disusun dengan memanfaatkan metode soal-jawab dengan diawali pembahasan ringkas terkait ushuluddin. Sementara juz tiga dan empat sudah tidak lagi menggunakan metode soal-jawan dan pembahasannya sudah sedikit agak luas walaupun masing-masing juz itu kisaran masalah yang ditampilkan hanya ushuluddin, thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Di samping dua kitab di atas, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar juga menulis kitab-kitab lainnya yang mayoritasnya diperuntukkan siswa-siswa madrasah formal dan juga mencetak serta mengedit kitab-kitab ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti:
Manhaj Ash-Shihhah, At-Ta’bir Asy-Syafahi, Tarikh ‘Imarah Al-Masjidil Haram karya Al-Marhum Husain bin ‘Abdullah Basalamah (tahqiq), Madarij Al-Hisab Al-Madrasi, Al-Hisab Al-Hadits, Sirah An-Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Al-Muthala’ah Al-Haditsah (ditulis bersama Syaikh Muhammad Ahmad Syatha dan Syaikh Ahmad Al-‘Arabi), Taqrib Al-Fiqh Asy-Syafi’i, dan Durus Min Madhi At-Ta’il wa Hadhiruh bi Al-Masjid Al-Haram, sedangkan cetakan berikutnya berubah nama menjadi Siyar wa Tarajim Ba’dh ‘Ulamaina bi Al-Masjid Al-Haram.
Adapun kitab-kitab yang beliau biayai percetakannya ialah seperti Muqarrar At-Tauhid yang berisi dua kitab kecil karya Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (mungkin Al-Ushul Ats-Tsalatsah dan lainnya) dan ‘Umdah Al-A’lam karya Al-Hafizh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, Hayat Sayyid Al-‘Arab karya Syaikh Husain bin ‘Abdullah Basalamah dengan tahqiq Syaikh Zakariya bin ‘Abdullah Bela, Al-Amtsilah Al-Mukhtalifah fi At-Tashrif.
Tidak tahu pasti mana di antara buku-buku ini yang diterapkan penggunaannya di Indonesia, namun yang jelas usaha beliau dalam membenahi kurikulum pendidikan tidak berhenti sampai di Indonesia. Bahkan sekembalinya ke tanah airnya, beliau terus memantapkan karirnya sebagai bapak pendidikan.
Menyadari aktifitas dakwah membutuhkan dana dan biaya, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar berfikir keras bagaimana caranya mengumpulkan dana untuk kepentingan dakwah dengan tanpa meminta-minta atau tanpa membebani orang lain? Setelah ia berfikir keras hingga sampailah pada keputusan untuk berdagang. Berdagang merupakan aktifitas mencari rizki yang cukup besar keuntungannya. Bahkan sebagian orang mendasarkan pada sebuah atsar akan hal tersebut. Dari hasil keuntungan berdagang itu, beliau menggunakannya untuk kepentingan dakwah. Tentu saja dalam membangun madrasah-madrasah tahfizh Al-Quran dan bahasa Arab serta mencetak karangan-karangannya sendiri memerlukan kucuran dana. Keberkahan harta itulah di antara sebab berkembangnya dakwah yang ia emban dan telah melahirkan generasi-generasi terbaik yang akan segera memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di seluruh pelosok Tanah Air dan sebagai pejuang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena memang kemerdekaan negara kesatuan ini tidak bisa dilepaskan dari perjuangan para ulama dan santri. Bahkan hingga kaum muslimin jelata pun turut berpadu dalam mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Berangkat dari kesadaran bahwa selama pendudukan penjajah kafir tersebut masih bercokol di Indonesia, sudah barang tentu aktifitas ibadah umat Islam tidak bisa berlangsung lancar dan sempurna. Mereka tidak akan tinggal diam dan akan perupaya membuat pemuda-pemuda Islam lebih menyukai klub-klub malam atau acara-acara tandingan lainnya asalkan tidak ke masjid.
Kesuksesan dakwah Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar ini membuat umat Islam di Indonesia merasa perlu membalas jasanya. Oleh karena itu mereka mencoba menawarkan jabatan penting yang terpandang kepada beliau. Akan tetapi tawaran tersebut tidak disambut oleh Syaikh ‘Umar. Ia beralasan bahwa dakwah yang beliau lakukan dan usaha-usaha pembenahan kualitas pemahaman umat Islam di Indonesia yang beliau galakkan bukan untuk mencari jabatan. Semua itu murni demi kemaslahatan kaum muslimin dan untuk menunaikan kewajiban selaku orang Islam dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar. Apalagi kedudukan yang Allah sediakan kelak di akhirat jauh lebih besar dari sekedar jabatan di dunia yang sering kali membuat manusia lalai dan terpedaya.
Pada tahun 1356 H bisa dikatakan sebagai tahun sedih bagi umat Islam di Indonesia. Pasalnya orang paling berjasa dalam memajukan pendidikan dan kualitas pemahaman pemuda Tanah Air itu akan segera meninggalkan negeri terbesar umat Islam tersebut. Ya, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar akan segera kembali ke negeri asalnya, Kerajaan Saudi Arabia. Pun demikian, saudara-saudaranya di kepuluan Nusantara tidak mungkin menghalang-halanginya walauapun mereka masih tetap membutuhkan bantuannya. Namun keberadaannya di sini selama 10 tahun dimulai dari tahun 1345 H kiranya bukan waktu yang singkat menurut perhitungan biasa, namun apabila dikaitkan dengan waktu berdakwah masih belum dikatakan lama. Walaupun demikian, buah dakwah yang beliau lakukan selama rentang waktu itu sudah sangat luar biasa. Dari tangannya muncul da’i-da’i, ulama-ulama, dan para cendekiawan yang akan segera meneruskan estafet gurunya. Apalagi beliau telah mewakafkan perpustakaan pribadinya yang berisi kitab-kitab besar untuk kaum muslimin, pelajar, dan ulama di Indonesia. bukan hanya itu saja, beliau juga meninggalkan karya-karyanya untuk tetap dipakai dan dimanfaatkan sebagai buku wajib santri dan pelajar di madrasah-madrasah Islam. Karena itu tidak heran apabila Khulashah Nurul Yaqin dan Ad-Durus Al-Fiqhiyyah hingga detik ini masih diajarkan di madrasah-madrasah Islam di Tanah Melayu dengan berbagai latar belakang, tidak peduli madrasah yang berlatar belakang tradisional ataupun yang menganut faham pembaharuan.
Selain itu, beliau juga menulis Al-Mahfuzhat, Al-Muntakhabat fi Al-Mahfuzhat, Al-Hisab Al-Hadits, Muqarrar Al-Imla, Madarij Al-Hisab Al-Madrasi, Madarij Ta’lim Al-Lughah Al-‘Arabiyyah bi At-Tamarin wa Ash-Shuwar, dan lain-lain.
Rahimahullah..
Komentar
Posting Komentar