Biografi Penulis Kitab Sejarah Hidup Imam Ad-Dāraquthniy bernama Abū Al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdiy bin Mas'ūd bin An-Nu'mān bin Dīnār bin ‘Abdillāh Al-Baghdādiy, seorang ahli qiraat, al-hāfidzh, dan Amīr Al-Mukminīn fī Al-Hadīts. Beliau lahir di bulan Dzulqa'dah tahun 306 H di Baghdad, di sebuah mahallah (distrik/kampung) yang bernama Dār Al-Quthn. Mengenai keluarga beliau, penulis mendapati bahwa ayah beliau adalah ahli hadis dan ahli qiraat, lagi tsiqah. Adz-Dzahabiy berkata mengenai Imam Ad-Dāraquthniy, “Beliau bagaikan lautan ilmu, termasuk kalangan ulama dunia, kepadanya berakhir hapalan dan pengetahuan ‘ilal hadis dan para rijalnya, bersamaan dengan keilmuan beliau dalam qiraat dan jalur-jalurnya, kuatnya pengetahuan fiqh, perbedaan pendapat, sejarah perang Nabi, sejarah manusia, dan lain-lain.” Beliau juga ahli dalam bahasa, nahwu, dan sastra. Imam Ad-Dāraquthniy dalam hal aqidah mengikuti salaf ash-shālih. Hal ini tampak dari karya-karyanya...
Ringkasnya begini;
Pertama-tama citra tasawuf dirusak oleh al-Ḥallāj, kemudian dibersihkan susah payah oleh al-Gazzālī, kemudian dihancurkan lagi oleh tasawuf Ibnu ‘Arabī.
Uraian:
Salah satu dimensi terpenting ajaran Nabi ﷺ adalah pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Lama-lama ajaran itu membentuk menjadi ilmu terstruktur. Yakni ketika sudah sering didiskusikan, dikaji, dan disistematisasi. Lahirlah istilah ilmu tasawuf. Faktor yang mendorong munculnya ilmu jenis ini adalah mulai munculnya kemewahan sesudah zaman Nabi ﷺ dan sahabat. Munculnya mirip ilmu fikih. Jika ilmu tasawuf muncul sebagai akibat problem keringnya hati dan jauhnya dari cara hidup spiritual Nabi ﷺ akibat kemewahan dan terbukanya dunia, maka ilmu fikih muncul akibat banyak problem yang tidak ada di zaman Nabi ﷺ dan Sahabat yang butuh dipecahkan aspek hukumnya.
Tapi tasawuf generasi awal masih bagus-bagus. Keterikatannya terhadap Al-Qur’an Sunah sangat kuat. Tujuannya benar-benar taqarrub ilalāh dan membersihkan jiwa. Semangatnya ingin meniru persis kehidupan rohani Rasulullah ﷺ. Malah ahli fikih pada umumnya juga praktisi tasawuf, meski mereka tidak menyebut itu tasawuf. Muncul sufi-sufi bersih di zaman ini seperti al-Junaid, al-Ḥāriṡ al-Muḥāsibī, Abū Sulaimān Al-Dārānī, Ma‘rūf Al-Karkhī, Al-Fuḍail bin ‘Īyāḍ dan yang semisal dengan mereka.
Lalu muncul al-Ḥallāj di abad ke 4 H. Paham tasawufnya mulai mengenalkan pemikiran yang tidak pernah dimunculkan pemerhati tasawuf sebelumnya. Ada ajaran ḥulūl (menitisnya Tuhan dalam manusia), ḥaqīqah muḥammadiyyah (segala sesuatu berasal dari nur muhammad) dan waḥdatul adyān (semua agama sama, hanya beda kulit). Ahli fikih direndahkan karena dianggap ahli kulit, bukan isi. Mereka dijuluki ahlurrusūm dan ahluẓẓawāhir. Para ulama bereaksi keras. Al-Ḥallāj divonis kafir dan murtad. Tahun 309 H (sekitar 921 M) dia disalib dan dihukum mati. Citra tasawuf demikian buruk sejak zaman al-Ḥallāj ini.
Lalu bangkitlah al-Gazzālī di abad ke 5 H.
Beliau bersihkan tasawuf dari noda kotor yang ditimbulkan al-Ḥallāj. Beliau sampaikan kepada dunia,
Tasawuf itu tidak sehina yang kalian bayangkan. Tasawuf itu hakikatnya ilmu mulia, bahkan esensi ajaran Nabi Muhammad ﷺ jika pengembannya orang yang mengerti fikih dan menguasai syariat.
Beliau karanglah kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn untuk mengawinkan fikih dengan tasawuf. Beliau tunjukkan kebenaran tasawuf dan kesalahan sufi di masa sebelum beliau.
Sambutan dunia Islam terhadap Iḥyā’ ‘Ulūmiddin luar biasa (tentu saja, sebagai karya manusia biasa, wajar jika tetap ada beberapa celah kelemahan, sehingga ada yang mengkritiknya). Mereka percaya konsepsi al-Gazzālī, karena beliau dikenal sebagai ahli fikih dan ahli syariat. Beliau adalah peneliti mazhab al-Syāfi‘ī, bahkan berperan besar dalam taḥrīr mazhab al-Syāfi‘ī. Di zaman Ṣalāḥuddin al-Ayyūbī kitab ini menjadi buku panduan wajib pembinaan para tentara. Hasilnya, muncul tentara sufi yang lebih cinta mati daripada hidup. Akibatnya pasukan salib takluk kepada mereka. Baitul Maqdis dikuasai kaum muslimin kembali.
Citra tasawuf jadi bersinar kembali. Tasawuf yang terikat Al-Qur’an dan Sunah, yang dikontrol oleh fikih, dan berusaha sedekat mungkin dengan petunjuk Nabi ﷺ.
Setelah al-Gazzālī wafat, muncul Ibnu ‘Arabī yang hidup di abad 6-7 H. Tasawufnya menghidupkan kembali paham al-Ḥallāj. Bedanya, Ibnu ‘Arabī mengukuhkannya dengan filsafat. Karena filsafat biasanya dianggap “mainan” orang jenius (atau sangat cerdas minimal), paham yang sangat kontroversial itu jadi memiliki “aura wibawa”. Jadi tasawufnya digolongkan tasawuf falsafi. Di masa ini kembali fikih diremehkan. Filsafat ditonjolkan. Usaha al-Gazzāli mempertemukan tasawuf dengan fikih dirusak lagi oleh tasawuf Ibnu ‘Arabī. Jadi kedatangan tasawuf Ibnu 'Arabī memang “untuk” menghancurkan tasawuf al-Gazzālī. Ibnu ‘Arabī dikenal mencaci al-Junaid dan mengagung-agungkan al-Ḥallāj. Sebuah sikap yang dikecam oleh Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī dan di antara penyebab mengapa Ibnu Ḥajar tegas mengatakan Ibnu 'Arabī dalam kesesatan.
Di masa selanjutnya, tasawuf Ibnu ‘Arabī dilanjutkan tokoh-tokoh seperti Ibnu al-Fāriḍ (ابن الفارض), Ibnu Sab‘īn (ابن سبعين), Jalāluddīn al-Rūmī (جلال الدين الرومي), ‘Abdul Karīm al-Jīlī (عبد الكريم الجيلي) dan lain-lain dengan berbagai pengembangan dan tambahan-tambahan. Sampai kemudian muncul tokoh-tokoh di Indonesia yang juga melanjutkan paham Ibnu ‘Arabī semisal Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani hingga Siti Jenar.
Bahkan ajaran Ibnu ‘Arabī juga menginspirasi penciptaaan agama baru, yakni agama sinkretis yang berusaha memadukan Islam, Hindu dan Kristen bernama din ilāhī (دين إلهي). Pencipta agama baru ini adalah Akbar Khan, salah salah satu kaisar Mughal. Malahan, paham Ibnu ‘Arabī ini juga menginspirasi orang di luar Islam untuk menciptakan agama juga. Misalnya Blavatsky dan Annie Besant yang mendirikan gerakan Teosofi mengikuti tasawuf Ibnu ‘Arabī.
Ketika yang menerima paham ini orang Jawa, maka disiknretiskanlah antara paham Ibnu ‘Arabī itu dengan kejawen. Muncullah Serat Wirid Hidayat Jati karangan Ranggawarsita. Muncul juga kelompok PANGESTU dan WARGO UTOMO. Semuanya adalah paham sinkretis.
Sekarang Anda semua bisa mengerti, ternyata cukup banyak yang pangkalnya di tasawuf Ibnu ‘Arabī.
Jika seperti ini gambaran singkat perkembangan tasawuf, berarti ilmu tasawuf itu bermacam-macam. Tidak satu warna. Bisa jadi semuanya mengklaim memiliki tujuan sama, yakni menuju Allah, tapi ajaran, konsepsi, pemikiran, pendekatan dan metode yang digunakan ternyata berbeda-beda. Oleh karena itu, jika berminat untuk masuk tasawuf, jangan sembarangan memilih jenis tasawufnya. Agar tidak salah jalan. Agar tidak bingung. Agar tidak disesatkan.
Rekomendasi tasawuf al-Junaid (seperti saran Nawawi al-Bantani al-Jawi ) atau tasawuf al-Gazzālī dan al-Syāżilī (seperti saran KH. Hasyim Asy’ari) bisa diikuti. Jangan mencampurnya dengan tasawuf al-Ḥallāj atau tasawuf Ibnu ‘Arabī. Mencampur tasawuf al-Gazzālī dengan tasawuf Ibnu ‘Arabī itu upaya meramu sesuatu yang kontradiktif. Seperti ingin mencampur minyak dengan air.
Memilih tasawuf al-Junaid atau tasawuf al-Gazzālī adalah jenis tarjih yang cermat dan berhati-hati. Memberi kesan paham betul sejarah perkembangan tasawuf dan pemikirannya, lalu merekomendasikan tasawuf untuk kaum muslimin yang lebih dekat dengan konsepsi ahlussunnah wal jamaah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kacau dan rusaknya din awam jika sampai yang dipilih adalah tasawuf Ibnu ‘Arabī, atau tasawuf al-Ḥallāj atau tidak merekomendasikan dan membiarkan kaum mulimin memilih sesukanya atau bahkan meramu (mensinkretisasikan) secara mandiri semua paham tasawuf itu!
Tasawuf al-Junaid adalah tasawuf yang bersih. Konsisten dengan Al-Qur’an dan Sunah. Berusaha sedekat mungkin dengan petunjuk Nabi ﷺ. Beliau dipuji kawan maupun lawan. Jangankan pecinta tasawuf, pengkritik tasawuf yang cukup tajam seperti Ibnu Taimiyyah saja memuji al-Junaid sebagai imam huda/petunjuk, orang yang paling konsisten dengan amar makruf nahi mungkar serta penghulu kelompok sufi (سَيِّدُ الطَّائِفَةِ).
Demikian pula tasawuf al-Gazzāli. Konsepsi tasawuf yang dibawa beliau adalah tasawuf yang dikontrol oleh fikih. Ini adalah sebaik-baik tasawuf. Sebab fikih itu sangat berhati-hati menisbahkan sesuatu sebagai kehendak Allah. Yang benar-benar qaṭ‘ī berani dinisbahkan kepada Allah, sementara yang hanya dugaan kuat hanya disebut ijtihad atau ra’yu. Rida Rasulullah ﷺ terhadap ijtihad meski salah dengan menjanjikan pahala menunjukkan itu cara terbaik untuk mengontrol mana yang sesuai dengan kehendak Allah atau minimal diduga kuat kehendak Allah dan mana yang berasal dari setan.
Lihat juga sejarah keilmuan al-Syāfi‘ī. Beliau menguasai ilmu kalam, tafsir Al-Qur’an, ilmu nasab, ilmu bahasa, ilmu fikih, ilmu usul fikih, dan lain-lain tapi yang beliau putuskan ditulis adalah fikih dan usul fikih. Ini menunjukkan beliau paham betul ilmu mana yang paling bermanfaat bagi umat. Beliau mengerti skala prioritas penyebaran ilmu yang harus didahulukan. Pilihan beliau sungguh bijaksana dan terbukti manfaatnya hingga sekarang, karena paling berperan menjaga syariat dan paling berperan menjaga para awam. Oleh karena itu, wajar jika Imam Ahmad sampai mendoakan al-Syāfi‘ī setiap hari karena merasakan betul jasa besar yang ditinggalkan beliau untuk umat.
Karena besarnya peran fukaha menjaga din, menjaga syariat, menjaga hukum dan menjaga tatanan masyarakat, maka siapapun yang ingin merusak umat Islam dan menghancurkan bangunan akidahnya pasti mengawali dengan serangan terhadap ahli fikih. Mereka digambarkan ahli zahir, ahli kulit, tidak ngerti hakikat, bahkan calon pengikut Dajjal! Jadi, cara orang awam mengecek paham sesat di tengah-tengah umat itu sederhana saja; Lihat apakah menghina, merendahkan, "mendesakralisasi" dan meremehkan ahli fikih/fukaha ataukah tidak. Siapapun yang merendahkan ahli fikih dengan bahasa apapun, entah halus maupun kasar maka itu adalah paham menyimpang yang harus diwaspadai.
Patut dicatat, tentu saja al-Junaid maupun al-Gazzāli bukan hamba Allah yang maksum. Jadi, jika beliau berdua dipandang melakukan kesalahan berdasarkan ijtihad sahih dalam satu dua hal, maka itu sangat dimaklumi dan kita juga tidak wajib ikut. Boleh mengkritik dengan santun berdasarkan ilmu, selama semangatnya adalah untuk menjaga dinullah dan ikhlas karena Allah.
Jadi bertasawuf dengan tasawuf al-Gazzālī dan al-Junaid tidak bermakna taklid buta kepada beliau berdua. Tapi jenis kepercayaan dalam mengambil ilmu pembersihan jiwa seraya tetap mempertahankan sifat kritis karena Allah.
Bagaimana dengan tasawuf dalam kitab al-Ḥikam karya Ibnu ‘Aṭā’illah al-Iskandarī?
Ibnu ‘Aṭā’illah al-Iskandarī mengikuti tarekat Syāżiliyyah. Tarekat ini didirikan oleh Abū al-Ḥasan al-Syāżilī (أبو الحسن الشاذلي) yang hidup setelah masa al-Gazzālī. Pernyataan al-Syāżilī menunjukkan tarekatnya mewajibkan diri konsisten dengan Al-Qur’an dan Sunah. Malahan beliau sampai berpesan kalau ada kasyaf yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, maka buang kasyafmu. Karena yang dijamin maksum hanya dua sumber itu, sementara kasyafmu tidak dijamin benar.
Al-Syāżilī berkata,
«إذا عارض كشفك الكتاب والسنة فتمسك بهما ودع كشفك، فإن الله قد ضمن فيهما العصمة ولم يضمنها في الكشف». [«تاريخ الجزائر في القديم والحديث» (2/ 349)]
Jika kasyafmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, maka peganglah Al-Qur’an dan sunah dan buang kasyafmu. Sebab Allah menjamin kemaksuman Al-Qur’an dan Sunah tapi tidak menjamin kemaksuman kasyafmu.
Di tempat lain al-Syāżilī merekomendasikan untuk belajar kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn karya al-Gazzālī dan Qūtu al-Qulūb karya Abū Ṭālib al-Makkī. Al-Syāżilī berkata,
«كتاب الإحياء يورثك العلم، وكتاب قوت القلوب يورثك النور». [«عدة المريد الصادق» (ص180)]
Kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn memberimu konsep ilmu. Kitab Qūtu al-Qulūb memberimu cahaya.
Dengan demikian tasawuf Ibnu ‘Aṭā’illah al-Iskandarī pada hakikatnya mengikuti tasawuf al-Gazzālī juga yang berusaha komitmen dengan Al-Qur’an dan Sunah. Karena itulah KH. Hasyim Asy’ari juga merekomendasikan tasawuf Abū al-Ḥasan al-Syāżilī disamping tasawuf al-Gazzālī.
Tidak masalah mengikuti tasawuf tersebut, tapi dengan catatan tidak memaksumkannya. Artinya tidak perlu kaget jika ada satu ditemukan satu dua hal yang musykil atau ditemukan ada ulama lain yang mengkritik sebagian ajarannya atau bahkan mengkritiknya dengan keras. Jika itu yang terjadi, maka pengikut tasawuf beliau wajib mentarjih dengan semangat ketakwaan. Sebab tidak mungkin seorang manusia biasa (yang tidak maksum), 100% ajarannya benar, sebagaimana tidak mungkin semua kritikan juga benar. Jadi, dalam kondisi ini, semangat kritis wajib dipelihara dalam semangat ketakwaan dan keikhlasan.
Sekali lagi, jangan bertasawuf dengan tasawuf al-Ḥallāj atau Ibnu ‘Arabī atau semua tokoh yang melanjutkan pahamnya seperti Ibnu al-Fāriḍ, Ibnu Sab‘īn, Jalāluddīn al-Rūmī, ‘Abdul Karīm al-Jīlī, Hamzah Fansuri, Samsuddin Sumatrani, Siti Jenar dan semisalnya.
Pembela Ibnu ‘Arabī seperti al-Suyūṭī saja mengharamkan mempelajari kitab-kitab Ibnu ‘Arabī, apalagi pengkritiknya. Tentu lebih keras lagi mengharamkannya. Ulama yang meyakini kewalian Ibnu ‘Arabī saja seperti Ibnu ‘Ḥajar al-Haitamī juga sudah mewanti-wanti agar tidak dekat-dekat dengan buku-buku Ibnu ‘Arabī karena bisa mengantarkan pada kemusyrikan bahkan syirik akbar!
Sebagian orang zaman sekarang itu sungguh aneh. Memahami hukum waris, hukum haid-istihaḍah dan hukum talak saja banyak yang kelimpungan, lalu mau gaya-gayaan belajar pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī. Bagaimana bisa punya harapan selamat di akhirat jika kadar dirinya saja tidak menyadari?
Pertanyaan terakhir, “Lalu khazanah pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī dipakai untuk apa?”
Hamba Allah yang dianugerahi kejeniusan dan kecerdasan tinggi dengan disertai penguasaan yang baik terhadap syariat akan memerlukannya untuk dikaji, agar bisa ditunjukkan kepada para awam aspek-aspek kontradiktif dengan syariat dalam pemikiran keduanya dan potensi bahayanya, sehingga lebih bisa memahami mengapa haram menyebarkan pemikiran keduanya jika tujuannya untuk diyakini dan diamalkan.
Selain tujuan di atas, nampaknya pemikiran keduanya hanya bermanfaat untuk kepentingan duniawi. Misalnya dipakai menjadi jadi tema paper orang yang mengejar jurnal, demi kenaikan pangkat atau memburu pengakuan kapasitas intelektual dan penghormatan seperti yang biasa berlaku di dunia Barat. Tradisi penelitian di Barat memang murni orang mencari dunia. Menulis paper untuk mengejar respect, pengakuan, penghormatan, tunjangan, kenaikan pangkat, gelar, jaminan hari tua dan semua hal duniawi semakna.
Adapun hamba yang takut akan Rabbnya, yang kuatir nasibnya di akhirat kelak, fokuslah pada ilmu yang jelas, muḥkamāt, dan qaṭ‘ī. Tidak usah masuk pembahasan yang samar-samar, membuat bingung, membuat ragu atau malah menggiring kepada syirik akbar.
Komentar
Posting Komentar