Ia dilahirkan di Baghdad, pada 10 Rajab 553 H yang bertepatan dengan 7 Agustus 1158 M. Ayahnya adalah Khalifah Hasan al-Mustadhi’, sedangkan ibunya adalah Zumurrud Khatun, pemilik Masjid Zumurrud di Baghdad. Di Makkah, ibunya memiliki ribat yang terletak di Utara Masjid al-Haram. Dahulunya ribat ini dikenal dengan nama Ribat Umm al-Khalifah.
Masa Kekhalifahannya
Ia menjabat sebagai khalifah pada tahun 575 H yang bertepatan dengan tahun 1180 M setelah ayahnya wafat dan memerintah selama sekitar 45 tahun. Pada tahun-tahun awal pemerintahannya, ia memadamkan kekuatan Bani Seljuk di Persia. Ia mengobarkan penentangan terhadap sultan Seljuk. Syah Khwarezmia, Tekisy menyerang Bani Seljuk dan mengalahkan mereka. Tekisy pun memberikan wilayah-wilayah pemerintahan yang berhasil diambilnya di Persia dari Bani Seljuk kepada khalifah. Mereka pun memanjatkan doa dari sana untuk khalifah di setiap khutbah.
Menyamar untuk Mengetahui Kondisi Rakyat
Pada tahun 1185 M, seorang penjelajah bernama Ibn Jubair al-Andalusiy mengunjungi Baghdad. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat sang khalifah menyamar untuk mengetahui kondisi rakyat dari dekat.
Pernikahannya dengan Wanita Bani Seljuk
Pada tahun 1186 M, Khalifah al-Nashir menikah dengan Amirah Seljuk Khatun binti Sultan Seljuk Rum Ruknuddin Mas’ud I. Sultan ini adalah sosok yang masih mendukung khalifah, bahkan ketika sang khalifah berselisih dengan para kerabatnya dari kalangan Bani Seljuk Persia, di mana khalifah pada akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah pemerintahan mereka di sana. Disebutkan bahwa Sultan Nuruddin Zanki sepadan dengan Khalifah al-Nashir. Jadilah seluruh Bani Seljuk mengikut khalifah, memakai pakaian al-Futuwwah, menyongsong bendera hitam, mengirim upeti, serta menuliskan nama khalifah di mata uang mereka.
Mendirikan Sistem/Lembaga al-Futuwwah
Khalifah mendapati bahwa negara butuh kepada pelayanan yang bersifat kerakyatan, militer, dan hierarki untuk menegaskan kekuatannya, maka ia pun mendirikan lembaga yang bernama al-Futuwwah.
Al-Futuwwah sejak awal perkembangannya merupakan sistem yang bersifat kerakyatan dan publik. Sistem ini memiliki pondasi-pondasi yang tumbuh secara alami dalam masyarakat Islam. Tercetaklah masyarakat di atas pondasi-pondasi itu. Berbagai kelompok yang tergabung dalam sistem ini berupaya untuk menerapkan tradisi yang terorganisir serta terpadu. Sistem al-Futuwwah terus berlanjut seperti ini dengan tidak resmi, dan tidak pula di bawah naungan pemerintah, hingga Khalifah al-Nashir mendirikan al-Futuwwah dan menjadikannya resmi.
Al-Futuwwah menjadi tersebar di antara para petinggi pemerintahan, tentara, dan perorangan serta pengaturan ini menjadi ada di setiap kota dan kampung daripada apa yang diberi khalifah berupa kekuatan yang bersifat kerakyatan, militer, hierarki, dan berkesinambungan. Al-Futuwwah menjadi alat terbaik untuk menegaskan kekhalifahannya di negaranya ini.
Penguasaannya Terhadap Negara
Ibn al-Najjar berkata, “Para sultan yang ada tunduk kepada al-Nashir. Orang-orang yang dahulunya menentang menjadi patuh kepadanya. Orang-orang yang sombong dan melampaui batas menjadi rendah diri kepadanya. Orang-orang yang bertindak semena-mena menjadi tunduk karena pedangnya. Para musuhnya terbantahkan. Para pembelanya semakin banyak. Ia menaklukkan sejumlah negeri. Ia menguasai kerajaan-kerajaan yang tidak mampu dikuasai oleh para khalifah dan raja sebelumnya. Di negeri Andalusia dan China, doa untuknya dipanjatkan dalam khutbah-khutbah.”
Pendirian Intelijen dan Adanya Keyakinan Ia Dilayani Jin
Dalam Tarikh al-Khulafa’ karya al-Suyuthi dan Siyar A’lam al-Nubala’ karya al-Dzahabiy disebutkan bahwa jin melayani dan menyampaikan kabar dan rahasia kepadanya. Sebab dari keyakinan seperti ini adalah bahwa khalifah tahu segala hal yang terjadi di wilayah kekuasaannya, sampai-sampai orang-orang ketika membicarakannya memelankan suara.
Padahal yang terjadi sebenarnya adalah bukan karena bantuan jin, melainkan karena adanya pelayanan rahasia yang didirikannya untuk menyampaikan kabar dan berita kepadanya. Pelayanan rahasia ini terdiri dari jaringan para pelayan istana, bagian dari keanggotaan al-Futuwwah, dan juga kelompok-kelompok yang ahli dalam hal ini.
Pembebasan al-Quds
Khalifah al-Nashir memberikan bantuan kepada Sultan Shalahuddin al-Ayyubiy dalam upayanya memerangi Bangsa Frank. Ia memerintahkan kepada para pemimpin di berbagai penjuru Islam agar membantu Shalahuddin dengan berupa pasukan berdasarkan kesanggupan militernya. Ia memperkuatnya dengan al-Futuwwah dan harta.
Sewaktu Shalahuddin berhasil membebaskan al-Quds pada tahun 583 H, yang bertepatan dengan 1187 M, dan sampai kabarnya ke Baghdad, al-Nashir mengiriminya lembaran yang tertuliskan sebagaimana di bawah ini yang kemudian digantung di al-Quds.
( وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ ) الحمد لله الذي أنجز وعده ونصر عبده ، وأقام خليفة القائم بحق الله ، وسيّد عترة رسول الله ، وثمرة شجرته الطيّبة المعرفة إليه أبا العباس أحمد الناصر لدين الله أمير المؤمنين ، أسبغ الله ظلّه على الإسلام والمسلمين وشدّ عضده بولده ووليّ عهده أبي نصر محمد عدة الدنيا والدين ، وأعاد عليه تراثه وأصار إليه من البيت المقدّس على رغم أنف المشركين ، وهو المحمود على أن أجري هذا الفتح على يدي دولته وسيف نصرته. يوسف بن أيوب معين أمير المؤمنين.
Penaklukkan Sinop
‘Izzuddin Kaikaus berhasil menaklukkan Sinop di Laut Hitam pada tahun 1214 M dan mengirim kabar gembira seraya membawa hadiah ke Baghdad sebagai bentuk kinayah bahwa penaklukkan ini kemenangan Dinasti Abbasiyah.
Pemberontakan Khwarezmia
Muhammad Syah Khwarezm mencoba untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah dan menguasai Baghdad pada tahun 1217 M. Ia pun menyiapkan tentara menuju Baghdad tetapi salju menghancurkan mereka. Salju saja sudah cukup untuk menamengi khalifah tanpa harus mengirimkan tentara. Hubungan permusuhan antara keduanya terus memburuk selama sekian lama hingga salah seorang petinggi Tekisy dibunuh atas perintah khalifah dengan perantara utusan Ismailiy, mereka pun tunduk kepada khalifah. Muhammad Syah Khwarezm pun menyematkan nama khalifah di mata uang mereka.
Wafatnya
Ia wafat pada Ramadhan 622 H yang bertepatan dengan tahun 1225 M. Tiga tahun dari akhir hidupnya begitu sulit, di mana ia menghadapi kelumpuhan dan kesulitan melihat. Istrinya lebih dahulu wafat beberapa bulan sebelumnya. Pemerintahan kemudian diteruskan oleh putranya, Muhammad al-Dzhahir bi-Amrillah.
Al-Suyuthiy berkata, “Ia meninggalkan bekas yang begitu dalam bagi negara. Di mana ia mengadakan sistem/lembaga al-Futuwwah, dan ketentaraan. Ia juga banyak memasukkan pemuda Baghdad ke dalam barisan tentara serta menghilangkan pengaruh non-Arab dan menghancurkan istana-istana Seljuk. Dunia tunduk kepadanya. Ia menaklukkan berbagai negeri, menguasai negeri-negeri yang belum pernah dikuasai sebelumnya. Ia memerintahkan, melarang, memakmurkan “pagar-pagar” Baghdad serta mengembalikan keagungan dan kehebatannya. Setiap sultan kaum muslimin membai’atnya dan taat kepadanya. Di antara mereka adalah Shalahuddin al-Ayyubiy. Ketika khalifah wafat, ia mengirimkan bendera dan tamengnya. Ini menjadi bukti bahwa ia merupakan pengikut khalifah al-Nashir.”
Sumber:
- Târîkh al-Khulafâ’, al-Suyûthiy.
- Târîkh Baghdâd, Ibn al-Najjâr.
- Siyar A’lâm al-Nubalâ’, al-Dzahabiy.
- Sayyidât al-Bilâth al-‘Abbâsiy, Musthafâ Jawwâd.
- Al-Kâmil fî al-Târîkh, Ibn al-Atsîr.
Komentar
Posting Komentar