Langsung ke konten utama

Mari Baca ...

Makalah M. Djohandra (11/09/2021) ~ Metode Kitab Sunan Ad-Dāraquthniy

Biografi Penulis Kitab Sejarah Hidup Imam Ad-Dāraquthniy bernama Abū Al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdiy bin Mas'ūd bin An-Nu'mān bin Dīnār bin ‘Abdillāh Al-Baghdādiy, seorang ahli qiraat, al-hāfidzh, dan Amīr Al-Mukminīn fī Al-Hadīts. Beliau lahir di bulan Dzulqa'dah tahun 306 H di Baghdad, di sebuah mahallah (distrik/kampung) yang bernama Dār Al-Quthn. Mengenai keluarga beliau, penulis mendapati bahwa ayah beliau adalah ahli hadis dan ahli qiraat, lagi tsiqah.   Adz-Dzahabiy berkata mengenai Imam Ad-Dāraquthniy, “Beliau bagaikan lautan ilmu, termasuk kalangan ulama dunia, kepadanya berakhir hapalan dan pengetahuan ‘ilal hadis dan para rijalnya, bersamaan dengan keilmuan beliau dalam qiraat dan jalur-jalurnya, kuatnya pengetahuan fiqh, perbedaan pendapat, sejarah perang Nabi, sejarah manusia, dan lain-lain.” Beliau juga ahli dalam bahasa, nahwu, dan sastra.   Imam Ad-Dāraquthniy dalam hal aqidah mengikuti salaf ash-shālih. Hal ini tampak dari karya-karyanya...

Dinasti Seljuk dari Awal Berdirinya Hingga Runtuhnya

Nama Seljuk naik ke “permukaan alam” secara tiba-tiba, di mana mereka dahulu hanyalah sebuah kabilah, tetapi berubah dengan cepat menjadi sebuah kekaisaran yang sangat luas yang kemudian terpecah menjadi beberapa negeri dan masing-masing negeri tersebut berakhir dengan cara yang berbeda-beda.

Awal Mula dan Asal-Usul Bani Seljuk

Sekitar tahun 985 M, Seljuq bin Duqaq, seorang tetua salah satu kabilah Turki Gazi, memimpin kabilahnya dari negeri Kasygar masuk ke wilayah Dinasti Abbasiyah di kawasan pemerintahan Bani Gaznawi. Masuk Islamlah Seljuq dan seluruh yang mengikutinya dari pihak kabilah, serta tunduk di bawah pemerintahan Bani Gaznawi. Setelah wafatnya Seljuq pada tahun 1009 M, kepemimpinan diambil alih oleh putra tertuanya yang bernama Israil. Bani Seljuk pun mempunyai kekuatan militer yang besar. Hal ini membuat Sultan Mahmud Gaznawi khawatir dan memenjarakan pemimpin mereka, Israil.

Mikail bin Seljuq kemudian mengambil alih kepemimpinan Bani Seljuk. Ia mendapati bagaimana kekuatan Sultan Mahmud, lalu meminta damai dan belas kasihnya. Mulailah dia mengumpulkan berbagai golongan kaumnya dan mencari-cari kesempatan untuk merebut wilayah-wilayah Bani Gaznawi. Namun dia terbunuh dalam salah satu peperangan dan digantikan oleh putranya, Tugrul Bek.

Perubahan dari Kabilah kepada Negara

Sang pemimpin kabilah, Tugrul Bek mendapatkan dukungan yang begitu besar dari rakyatnya, sehingga dia menyiapkan pasukan yang kuat dan membuat sebuah target di depan matanya, yaitu mendirikan sebuah negara untuk Bani Seljuk. Dengan segera ia memanfaatkan kesempatan ketika Mahmud wafat pada tahun 1030 M, serta merosotnya kekuatan militer Bani Gaznawi setelahnya yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Ia masuk ke dalam peperangan yang terjadi supaya dapat mengontrol wilayah tertentu yang nantinya dapat didirikan di sana negaranya. Akhirnya ia berhasil mendirikannya pada tahun 1037 M, dan menjadikan Nisabur sebagai ibu kotanya.

Bertambahlah peperangan antara Bani Seljuk dan Bani Gaznawi, sampai datang delegasi dari khalifah yang menyerukan perjanjian damai antara kedua belah pihak serta menetapkan batas-batas wilayah antara dua negara tersebut pada tahun 1040 M. Di antara isi perjanjian damai tersebut adalah agar masing-masing sultan menjadi wakil khalifah di negerinya, serta untuk pertama kalinya Bani Seljuk mendapat pengakuan dari Abbasiyah atas keabsahan pemerintahan mereka. Ini semua berdasarkan perintah Khalifah Abbasiyah Abdullah al-Qaim bi-Amrillah.

Perluasan Wilayah dan Penyelamatan terhadap Abbasiyah

Bani Seljuk berhasil memperluas wilayah negara mereka dengan sangat cepat. Mereka menguasai seluruh Khurasan dan wilayah yang luas dari Persia, utara Irak, Armenia, dan Asia Minor. Mereka memindahkan ibu kota mereka pada tahun 1043 M ke Kota Ray, kemudian pada tahun 1051 M, mereka memindahkan ibu kota lagi ke Kota Asfahan. Karena ini, sultan Bani Seljuk menjadi penguasa yang paling dekat dengan khalifah Abbasiyah.

Namun, kejadian yang terpenting adalah hal yang terjadi pada tahun 1058 M, ketika al-Basasiriy, salah seorang komandan khalifah Abbasiyah al-Qaim bi-Amrillah berusaha melakukan kudeta terhadap Kekhalifahan Abbasiyah dan menyebarkan bendera-bendera Ubaidiyyah, musuh Bani Abbas di Irak. Maka khalifah Abbasiyah pun meminta bantuan kepada Seljuk, Tugrul Bek pun menuju Irak dan berhasil menyelamatkan khalifah Abbasiyah dan membunuh al-Basasiriy pada tahun 1060 M.

Maka jadilah sultan Bani Seljuk tidak hanya sekedar wakil bagi khalifah Abbasiyah, tetapi juga menjadi wazirnya. Negara Bani Seljuk meluas sampai kepada Irak dan beberapa bagian negeri Syam. Sultan Bani Seljuk mencium tanah tujuh kali di hadapan khalifah ketika masuk ke majelisnya.

Ikatan Keluarga antara Bani Abbas dan Bani Seljuk

Bani Seljuk dipandang sebagai keluarga kerajaan terbanyak yang dinikahi oleh Bani Abbas. Hal ini sampai kepada bahwa sejumlah khalifah memiliki istri dua orang yang berasal dari Bani Seljuk. Khalifah tersebut antara lain, al-Qaim, al-Muqtadiy, al-Mustadzhhir, al-Mustarsyid, al-Rasyid, al-Muqtafiy, dan al-Nashir. Adapun dari pihak Bani Seljuk, Tugrul Bek menikahi putri al-Qaim namun pernikahan tersebut tidak sempurna lantaran Khalifah al-Qaim mengurungkannya dan wafatnya Tugrul Bek pada tahun 1063 M sebelum dapat melihat putrinya khalifah.

Masa Alp Arslan

Sultan Alp Arslan naik takhta setelah pamannya, Tugrul Bek wafat. Ia berhasil memperluas wilayah negaranya dan mendapatkan berbagai kemenangan menghadapi lawan-lawannya, baik internal ataupun eksternal. Ia memperluas wilayahnya di negeri-negeri Transoxiana, serta menguasai negeri-negeri Syam secara sempurna, adapun kemenangan terbesarnya adalah pada Perang Malazgirt pada tahun 1071 M menghadapi Bizantium. Alp Arslan adalah seorang yang menghormati dan memuliakan khalifah Abbasiyah. Sebelum perang, ia meminta khalifah untuk memberikannya kesempatan. Setiap kali masuk ke majelis khalifah, ia mencium tanah tujuh kali di hadapannya.

Walaupun Anadolu sudah ditaklukkan selama beberapa periode sejak zaman Maslamah, al-Rasyid, al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Muktafiy, Alp Arslan memerintahkan agar sejumlah besar orang Turki pindah ke Anadolu, sehingga orang Arab dan Romawi di sana menjadi minoritas seiring dengan berlalunya waktu. Alp Arslan terus melanjutkan pemerintahan hingga terbunuh dalam salah satu perangnya di Transoxiana pada tahun 1072 M.

Masa Malik Syah dan Perselisihan dengan Bani Abbas

Setelah Sultan Alp Arslan wafat, putranya yaitu Sultan Malik Syah menggantikannya. Negara Bani Seljuk terus meluas di masanya hingga mencapai puncak keluasan wilayahnya. Yaitu sampai ke Cina di Timur dan Laut Marmara di Barat. Ini semua berkat pertolongan wazir yang tiada tara, yaitu Nidzham al-Mulk. Namun di masanya, terjadi perselisihan untuk pertama kalinya antara Bani Abbas dan Bani Seljuk. Di mana Sultan Malik Syah menuduh Khalifah al-Muqtadiy memperlakukan putrinya dengan perlakuan yang buruk. Demikian pula hal tersebut disebabkan oleh penolakan khalifah Bani Abbas untuk menentukan putranya dari putri Malik Syah sebagai pewaris takhta atau putra mahkota. Maka kembalilah putri Malik Syah kepada ayahnya di Asfahan, namun wafat setelah beberapa waktu. Malik Syah pun mendendam kepada khalifah Bani Abbas dan menuntut khalifah agar meninggalkan Baghdad, tetapi Malik Syah wafat lebih segera pada tahun 1092 M.

Terpecah Belahnya Bani Seljuk dan Melemahnya Mereka

Setelah Malik Syah wafat, pemerintahan diteruskan oleh putranya yang masih kecil, yaitu Mahmud. Negara pun terpecah belah. Kılıç Syah I menguasai Anadolu, pamannya, yaitu Tutusy I bin Alp Arslan menguasai Syam, Ahmad Sanjar menguasai Khurasan, dan nantinya ia mendeklarasikan diri sebagai sultan Bani Seljuk serta berperang terhadap yang lainnya. Pada tahun 1094 M, Barkiyaruk bin Malik Syah mengambil alih pemerintahan. Pemerintahan Bani Seljuk bertambah lemah. Perebutan kekuasaan membuatnya semakin terpecah. Barkiyaruk pun wafat pada tahun 1105 M. Setelahnya, para sultan yang lemah secara berturut-turut menguasai pemerintahan. Mereka itu antara lain Malik Syah yang masih kecil, kemudian Ghiyatsuddin Muhammad, kemudian Mughitsuddin Mahmud yang wafat pada tahun 1130 M. Kematiannya diikuti oleh perang saudara yang terjadi antara putranya, Daud dan saudaranya, Mas’ud.

Akhir dari Bani Seljuk

Akhir dari mereka di Irak adalah ketika Khalifah al-Mustarsyid mulai memerangi mereka lalu mengeluarkan mereka dari Irak, kemudian disempurnakan oleh Khalifah al-Rasyid, kemudian Khalifah al-Muqtafiy berhasil mengeluarkan mereka secara penuh dari Irak pada tahun 1152 M.

Adapun akhir dari Bani Seljuk di Persia, Khurasan dan Transoxiana adalah ketika Khalifah al-Nashir dari Abbasiyah beraliansi dengan Sultan ‘Alauddin Tekisy dari Khwarezmia dalam menghadapi Bani Seljuk. Pada 19 Maret 1194 M, Sultan Tugrul Bek III yang kalah bertemu dengan ‘Alauddin Tekisy. Ia dibunuh dekat Kota Ray. Kepalanya dikirim ke Khalifah Abbasiyah Ahmad al-Nashir li-Dinillah di Baghdad. Khalifah Abbasiyah secara langsung menguasai Persia, sementara pihak Khwarezmia menguasai Khurasan.

Akhir Bani Seljuk di Syam lain lagi. Sultan Sultan bin Ridhwan diturunkan dari kekuasaan pada tahun 1118 M. Mulai bermunculanlah negara yang terpisah-pisah di berbagai kota di Syam. Bani Zanki di bawah pimpinan ‘Imaduddin Zanki, kemudian Nuruddin Zanki, berhasil menyatukan negeri-negeri di Syam di bawah pemerintahan mereka.

Di Kirman, Muhammad bin Bahram, seorang sultan Seljuk Kirman terakhir, diturunkan dari pemerintahan oleh Bani Gaznawi. Ini terjadi pada tahun 1185 M.

Adapun Bani Seljuk Rum di Anadolu, mereka menjadi pengikut Mongol setelah jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 M. Sultan terakhir mereka adalah Ghiyatsuddin Mas’ud bin Kaikaus yang memerintah hingga tahun 1303 M ketika ia ditimpa penyakit lumpuh sehingga tidak mampu berbicara, memegang, dan bergerak hingga meninggal. Negaranya terpecah menjadi 10 keamiran Turkman, yaitu Karaman, Teke, Hamid, Germiyan, Kizil Ahmadli, Mentesye, Aydin, Sharukhan, Karasi, dan Kayi.

Sumber

  1. Târîkh Thabaristân, Ibn Isfandiyâr.
  2. Wafayât al-A’yân, Ibn Khallikân.
  3. Târîkh Salâjiqat al-Rûm, Muhammad Suhail Thaqûsy.
  4. Akhbâr al-Daulat al-Saljûqiyyah, Shadr al-Dîn al-Husainiy.
  5. Târîkh al-Baihaqiy, al-Baihaqiy.


Komentar