Langsung ke konten utama

Mari Baca ...

Makalah M. Djohandra (11/09/2021) ~ Metode Kitab Sunan Ad-Dāraquthniy

Biografi Penulis Kitab Sejarah Hidup Imam Ad-Dāraquthniy bernama Abū Al-Hasan ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad bin Mahdiy bin Mas'ūd bin An-Nu'mān bin Dīnār bin ‘Abdillāh Al-Baghdādiy, seorang ahli qiraat, al-hāfidzh, dan Amīr Al-Mukminīn fī Al-Hadīts. Beliau lahir di bulan Dzulqa'dah tahun 306 H di Baghdad, di sebuah mahallah (distrik/kampung) yang bernama Dār Al-Quthn. Mengenai keluarga beliau, penulis mendapati bahwa ayah beliau adalah ahli hadis dan ahli qiraat, lagi tsiqah.   Adz-Dzahabiy berkata mengenai Imam Ad-Dāraquthniy, “Beliau bagaikan lautan ilmu, termasuk kalangan ulama dunia, kepadanya berakhir hapalan dan pengetahuan ‘ilal hadis dan para rijalnya, bersamaan dengan keilmuan beliau dalam qiraat dan jalur-jalurnya, kuatnya pengetahuan fiqh, perbedaan pendapat, sejarah perang Nabi, sejarah manusia, dan lain-lain.” Beliau juga ahli dalam bahasa, nahwu, dan sastra.   Imam Ad-Dāraquthniy dalam hal aqidah mengikuti salaf ash-shālih. Hal ini tampak dari karya-karyanya...

Pelenyapan Imam Ketiga Bani ‘Abbas, Ibrahim

Ibrahim al-Imam melakukan pemberontakan setelah terjadinya kekacauan dalam tubuh Bani Umayyah. Khalifah Marwan menawannya dan membunuhnya bersama 10 amir Bani Umayyah. Al-Saffah membalaskan dendam saudaranya dan mendirikan Dinasti Abbasiyah yang kemudian bertahan selama 800 tahun.

Ia adalah sosok yang mencetuskan pemberontakan Abbasiyah, pemimpin ‘tersembunyi’ Khurasan dan Persia ketika pemberontakannya berhasil menguasai wilayah tersebut. Ia dibunuh pada 8 Shafar 132 H, yang bertepatan dengan 26 September 749 M.

Masa Awal Hidupnya

Ia dilahirkan di al-Humaimah, Pegunungan al-Syarah, bagian wilayah Damaskus pada tahun 82 H atau 701 M. Ia merupakan putra dari imam Bani ‘Abbas kedua yaitu Muhammad al-Kamil. Ia menikah dengan Umm Ja’far binti ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib. Ia adalah orang yang paling tinggi kedudukan dan paling besar tanggung jawabnya di antara para saudaranya. Ia adalah orang memiliki kekuatan besar di Makkah dan Madinah, seorang yang dermawan, memiliki keutamaan, dan layak untuk memimpin.

Menjabat Sebagai Imam

Ayahnya mengangkat Ibrahim menjadi imam secara diam-diam serta menjadi pemimpin dakwah (revolusi) pemerintahan Bani ‘Abbas pada tahun 743 M setelah ayahnya wafat. Pemimpin dakwah di Kufah, Bukair bin Mahan sedang berada di al-Humaimah pada saat pengangkatan itu. Ia pun membawa pesan-pesannya ke Khurasan, wilayah yang difokuskan Ibrahim al-Imam.

Perannya dalam Perkembangan Dakwah (Revolusi)

Kita dapat menyimpulkan perannya dalam perkembangan dakwah pada 4 poin:

  1. Ibrahim al-Imam adalah imam yang paling berani. Ia berani mengambil risiko dan menemui langsung para pemimpin tertentu sendirian, setelah identitasnya tidak diketahui oleh orang-orang tadi.
  2. Ia mengkonsolidasikan gagasan penyegeraan pemberontakan dan tidak menunggu lebih dari yang memungkinkan. Khususnya ketika disalibnya salah seorang pemberontak yang bernama Zaid bin ‘Ali. Kekhawatirannya waktu itu adalah berlanjutnya pembalasan dendam Dinasti Umayyah, apalagi setelah terjadinya persekutuan sejumlah orang Bani ‘Abbas dalam pemberontakan Zaid bin ‘Ali. Di antara mereka itu adalah adiknya sendiri, al-Manshur.
  3. Ia memilih Abu Muslim al-Khurasaniy untuk menjadi barisan terdepan dalam pemberontakan di Khurasan dengan tujuan memikat orang-orang Khurasan yang merupakan saudara sekaumnya sendiri.
  4. Ia sendiri langsung yang melakukan safar ke Damaskus setelah terbunuhnya Khalifah al-Walid bin Yazid. Ia menghadiri pidato khalifah baru Yazid bin al-Walid. Ia menjadi khalifah setelah membunuh khalifah sebelumnya. Ibrahim mempelajari situasi dan kondisi dari dekat, dan mendapati bahwa waktu yang pas sudah dekat. Ia merasakan permusuhan yang begitu kuat dalam tubuh Dinasti Umayyah.

Deklarasi Pemberontakan

Bani ‘Abbas memanfaatkan kesibukan gubernur Dinasti Umayyah di Khurasan, Nashr bin Sayyar dalam memerangi pemberontakan Judai’ al-Kirmaniy. Mereka pun berkumpul 5 hari sebelum Ramadhan berakhir di benteng yang sudah ditinggalkan dan tidak ada nilai strategisnya. Mereka menjadikannya sebagai tempat persembunyian supaya tidak ketahuan untuk melakukan persiapan serta menjadi tempat latihan untuk merealisasikan penguasaan atas Kota Merv.

Pada hari Idul Fitri, 1 Syawal 129 H atau 15 Juni 746 M, tepatnya saat salat Idul Fitri di Kota Merv, muncullah orang-orang berpakaian hitam. Orang-orang gerakan dakwah Bani ‘Abbas berhasil menguasai Merv bagian Syajihan di Khurasan pada pagi hari itu juga.

Kelanjutan Pemberontakan

Bani ‘Abbas di bawah pimpinan Abu Muslim al-Khurasaniy berhasil menang atas pasukan Dinasti Umayyah yang dipimpin Nashr bin Sayyar. Pihak Bani ‘Abbas kemudian menarik hati al-Kirmaniy, semakin besarlah pasukan mereka. Mereka pun berhasil menguasai Khurasan dan ibukotanya, Merv. (Pada waktu ini, Ibrahim al-Imam berhasil ditawan tetapi ia tetap memimpin pemberontakan dari dalam penjara.)

Pasukan Bani ‘Abbas kemudian maju ke Persia dan berhasil menguasai Sarakhs, Tus, Nisabur, Jurjan, Qumis, Tabaristan, Ray, Abhar, Hamedan, Qum, Isfahan, Nahawand, dan Syahrizor.

Setelah Bani ‘Abbas berhasil menguasai seluruh Khurasan, mereka masuk ke Irak dan menghadapi pasukan Dinasti Umayyah yang dipimpin Ibn Hubairah walaupun komandan perang Bani ‘Abbas Qahthabah wafat. Pasukan Bani ‘Abbas meraih kemenangan dan masuk ke Irak. Mereka kemudian menguasai Kufah.

Pelenyapan Ibrahim al-Imam

Bocornya surat dari Ibrahim al-Imam menyingkap identitas dirinya bagi pihak Dinasti Umayyah. Marwan bin Muhammad pun menulis surat kepada pimpinan Damaskus agar mendatangkannya. Pimpinan Damaskus pun mengirimi sebuah surat yang berisi sifat dan ciri-ciri Ibrahim. Pihak Dinasti Umayyah pun berhasil menangkap Ibrahim al-Imam. Ia sempat memberikan wasiat kepada keluarganya agar yang menjadi penggantinya adalah saudaranya, Abu al-‘Abbas al-Saffah dan memerintahkan mereka agar pergi ke Kufah. Mereka pun berangkat ke Kufah.

Di antara mereka adalah 6 orang pamannya: ‘Abdullah, Daud, Isa, Shalih, Isma’il, ‘Abd al-Shamad yang merupakan anak-anak ‘Ali, 2 orang saudaranya: al-Saffah dan Muhammad, 2 putra Muhammad bin ‘Ali, 2 putranya: Muhammad dan ‘Abdul Wahhab. Ketika mereka sampai di Kufah, Abu Salamah al-Khallal mengantarkan mereka ke rumah al-Walid bin Sa’d maula Bani Hasyim. Kabar mereka tidak terdengar oleh kalangan militer dan  pemerintahan selama sekitar 40 malam. Ia pun mengantarkan mereka ke tempat lain. Ia terus memindah-mindahkan posisi mereka hingga negeri tersebut berhasil ditaklukkan dan kemudian al-Saffah dibai’at.

Adapun Ibrahim al-Imam ditahan oleh Marwan bin Muhammad di Herran. Ia tetap memimpin pemberontakan dan menulis surat untuk para pembelanya melalui penjara. Ia tetap dipenjara hingga dilenyapkan oleh Marwan sebagai pembalasan dendam karena pasukannya berhasil menguasai Kufah dan ketika itu umur Ibrahim adalah 48 tahun.

Komentar