Kejadian ini terjadi pada 25 Muharram 198 H yang bertepatan dengan 25 September 813 M.
Biografi Singkat
Al-Amin bernama asli Muhammad bin Harun bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin al-‘Abbas, seorang khalifah ke-6 Abbasiyah. Ia menjabat sebagai khalifah dalam rentang tahun 193-198 H yang bertepatan dengan 809-813 M.
Ia adalah seorang yang berpendidikan baik, luas pengetahuan dalam hal bahasa, fikih, sastra, dan sejarah. Para gurunya yang bertanggung jawab dalam pendidikannya seperti al-Kisa’iy dan al-Ashma’iy menjadi saksi kecerdasannya. Oleh karena itu ia mendapat tempat untuk dipuji dan disebut-sebut oleh para penyair di masanya.
Di Antara Pencapaian pada Masanya
- Memberikan harta yang sangat banyak kepada para mujahid.
- Mengarahkan pasukan untuk memerangi Romawi.
- Memberikan penjagaan dan perhatian terhadap kota-kota yang berbatasan dengan Romawi.
- Pada tahun 193 H/809 M, ia memerintahkan untuk membangun Kota Adana, memperkokoh bangunannya dan membentenginya.
Keberagamaannya dan Penghukumannya terhadap Peminum Khamar
Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah menjelaskannya sebagaimana berikut:
"كان كثير الأدب، فصيحا، يقول الشعر ويحبه، ويعطي عليه الجوائز الكثيرة، وكان شاعره أبا نواس، وقد قال فيه أبو نواس مدائح حسانا جدا، وقد وجده مسجونا في حبس الرشيد مع الزنادقة، فأحضره، وأطلقه، وأطلق له مالا، وجعله من ندمائه، ثم حبسه مرة أخرى في شرب الخمر وأطال حبسه، ثم أطلقه، وأخذ عليه العهد أن لا يشرب الخمر، ولا يأتي الذكران من العالمين، فامتثل ذلك، وكان لا يفعل شيئا من ذلك بعدما استتابه الأمين، وقد تأدب على الكسائي، وقرأ عليه القرآن"
Namun setelah kekalahannya di hadapan al-Ma’mun, ia mulai memusuhinya dan melemparkan tuduhan kepadanya. Orang Persia mengklaim bahwa mereka pihak yang menang dan dalam menghadapi hal itu, mereka melakukan penyelewengan sejarah hidup al-Amin serta menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang batil, padahal al-Dzahabiy dan Ibn Katsir menyatakan dengan tegas bahwa ia adalah sosok yang bagus Islamnya.
Perselisihan dengan al-Ma’mun
Perselisihan antara al-Amin dan al-Ma’mun dimulai dari masalah seputar otoritas kekuasaan Khurasan, di mana al-Ma’mun di masa al-Amin merupakan gubernur Khurasan sejak masa Harun al-Rasyid. Al-Ma’mun memandang bahwa dirinya punya otoritas yang sempurna dalam mengatur masalah Khurasan, baik dari segi politik, ekonomi, dan internal. Namun al-Amin sebagai amirul mu’minin memandang bahwa otoritas gubernur Khurasan itu harus sama seperti wilayah lainnya.
Hal ini menyebabkan perselisihan yang lebih besar antara keduanya. Al-Ma’mun enggan mengirimkan pajak Khurasan ke Baghdad, sementara al-Amin memindahkan jabatan putra mahkota dari saudaranya, al-Ma’mun, kepada putranya, Musa.
Kekalahan Pasukan al-Amin
Terjadilah Perang Ray pada tahun 811 M antara pasukan al-Amin yang dipimpin oleh Ali bin Mahan yang berjumlah 50 ribu dengan pasukan al-Ma’mun yang dipimpin Thahir bin Husain al-Khuza’iy yang berjumlah 10 ribu. Pasukan al-Ma’mun meraih kemenangan yang gemilang walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit. Ini dikarenakan pasukan al-Ma’mun merupakan pasukan kavaleri, sementara pasukan al-Amin infanteri. Perang ini juga menjadi sebab perubahan taktik militer setelah itu.
Ada suatu pernyataan di mana kemenangan pasukan al-Ma’mun merupakan kemenangan Persia atas Arab. Ini jelas keliru. Komandan pasukan al-Ma’mun sendiri, yaitu Thahir, merupakan orang Arab. Pasukan Thahir berjumlah 10 ribu yang terdiri dari 8800 orang Arab, 700 orang Khwarezmia, dan 500 orang Bukhara. Siapa yang memegang pendapat bahwa ini merupakan kemenangan Persia, maka dia bisa jadi seorang Persia dan budak mereka yang hendak menyandarkan keagungan kepada orang Persia atau bisa jadi ia adalah seorang Arab yang membenci Abbasiyah.
Pengepungan Baghdad dan Terbunuhnya al-Amin
Pada tahun 813 M, pasukan al-Ma’mun sampai ke Baghdad. Thahir bin Husain mengepungnya dari arah Barat, sementara Hartsamah bin A’yun dari arah Timur. Setelah terjadinya fitnah internal dan melemahnya pasukan al-Amin, al-Amin memutuskan untuk menyerahkan dirinya kepada Komandan Hartsamah karena senioritas Hartsamah dari satu sisi, dan kepala batunya Thahir dari sisi lain. Al-Amin bersama para pengikutnya keluar menyeberangi Sungai Dajlah menggunakan kapal kecil. Thahir kemudian menyerang kapal tersebut agar kemenangan di depan mata tidak disematkan kepada Hartsamah, terbaliklah kapal tersebut, dan al-Amin mampu berenang ke tepian. Di sana ia ditawan lalu dibunuh atas perintah Thahir.
Gelar al-Syahm
Sebab gelar al-Syahm diberikan kepada al-Amin adalah bahwa ketika terjadi pengepungan pasukan al-Ma’mun terhadap al-Amin, salah seorang pengikut al-Amin menyarankan agar menangkap dua anak al-Ma’mun yang berada di Baghdad, serta membuat ancaman dengan keduanya. Al-Amin pun marah ketika mendengar hal itu dan berkata, “Kalian menghasutku untuk membunuh kedua anakku dan menumpahkan darah keluargaku. Ini merupakan suatu pengacauan.”
Al-Ma’mun Membunuh Pembunuh Saudaranya, al-Amin
Al-Ma’mun tidak pernah memerintahkan agar saudaranya, al-Amin dibunuh. Setelah terbunuhnya al-Amin, ia mengadopsi para putra al-Amin dan ketika mereka besar, ia menikahkan mereka dengan para putrinya. Al-Ma’mun, mengambil jabatan khalifah dari saudaranya, al-Amin, dan memberikannya kepada saudaranya yang lain, al-Mu’tashim.
Al-Ma’mun tidak suka dengan pembunuhan saudaranya yang dilakukan Thahir. Al-Dzahabiy berkata dalam al-Siyar mengenai Thahir, “Ia marah karena ketergesaan Thahir dalam membuat keputusan untuk membunuhnya.” Namun al-Ma’mun tidak membunuhnya secara langsung supaya tidak timbul fitnah baru. Ia memanfaatkan Thahir untuk menekan fitnah yang terjadi di utara al-Raqqah, dan menjaga stabilitas Khurasan.
Ibn al-Atsir dalam kitabnya, al-Kamil, menyebutkan bahwa al-Ma’mun menjadikan dua orang untuk mengawasi Thahir bin Husain. Orang pertama bertugas sebagai penyampai kabar mengenainya untuk al-Ma’mun, seorang lagi untuk meracuninya. Pada tahun 822 M, Thahir tidak menyebut nama al-Ma’mun dalam suatu khutbah, sampailah surat kepada al-Ma’mun mengenai hal itu. Al-Ma’mun memerintahkan agar ia dibunuh. Ketika sampai kabar itu kepada al-Ma’mun, ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mendahulukan dirinya dan mengakhirkan kita.”
Sumber:
- Târîkh al-Khulafâ’, al-Suyûthiy.
- Siyar A’lâm al-Nubalâ’, al-Dzahabiy.
- Al-Kâmil fî al-Târîkh, Ibn al-Atsîr.
- Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibn Katsîr.
- Al-Anbâ’ fî Târîkh al-Khulafâ’, al-‘Imrâniy.
Komentar
Posting Komentar